Kenapa harus Diam ? Sebuah Renungan dalam Mazmur 4: 5


Di zaman ini, dunia semakin berisik. Media sosial, berita, hiburan, dan berbagai tuntutan hidup terus menerus menuntut perhatian kita. Tanpa sadar, kita sering terhanyut dalam arus kebisingan ini—terburu-buru dalam mengambil keputusan, gelisah akan masa depan, atau bahkan takut tertinggal oleh perkembangan zaman.

Sayangnya seni keheningan telah hilang dari dunia yang sibuk ini, dimana kebisingan dan percakapan selalu ada. tapi bagaimana jika waktu yang kita pilih untuk tidak berbicara sama kuatnya dengan saat-saat kita berbicara

 Seberapa sering kita berhenti dan merenungkan apa arti dari keheningan kita. Salah satu seorang filsuf pernah berkata lebih baik tersandung dengan kaki daripada tersandung dengan lidah. Pepatah bijak ini mengajukan pertanyaan mendasar, berapa kali kita merasa menyesal setelah mengucapkan sesuatu dengan tergesa-gesa atau karena amarah?

Kita juga memiliki kewajiban untuk menggunakan keheningan sebagai alat untuk pertumbuhan dan kedamaian bayangkan menghadapi tantangan hidup dengan kepercayaan diri yang tenang dimana keheningan kita berbicara lebih keras daripada kata-kata yang bisa diucapkan.  filosofi stokisme mengajarkan bahwa keheningan bukan hanya ketiadaan ucapan tetapi sebuah respons yang mendalam dan telah dipilih dengan hati-hati. Keheningan adalah kekuatan yang aktif dan berdaya sebuah rencana yang dapat membantu meredakan pertikaian, melindungi kita dari bahaya dan membantu kita untuk memahami.

Sebagai orang kristiani, pernah nggak kamu marah sampai ingin meledak dan akhirnya malah bikin kamu menyesal ketika kita marah, seringkali kata-kata yang keluar dari mulut kita bisa saja melukai orang lain. Kemarahan dapat menghinggapi siapa saja. Pemicunya pun dapat dari mana saja. Mulai dari masalah diri sendiri, sampai pada fitnah yang keluar dari mulut orang-orang yang dengki, efek stress yang diakibatkan masalah ekonomi kerap memicu banyak kemarahan di dalam rumah tangga. Di tengah kemarahan tak jarang muncul keinginan untuk segera memuaskan hati dengan melampiaskannya. Membela diri, mengumpat, mengutuk, membeberkan keburukan orang lain, hingga mengutip ayat dengan maksud menghakimi sesama. Terlebih di masa kini, kita dimudahkan dengan sarana yang sangat praktis yakni melalui media sosial. 

Kemarahan memang hal yang wajar, tetapi bagaimana kita meresponnya itu adalah kunci agar kita tetap hidup dalam kehendak Tuhan. Seperti dikatakan dalam Mazmur 4 : 5 Biarlah kamu marah tetapi jangan berbuat dosa berkata-katalah dalam hatimu di tempat tidurmu tetapi tetaplah diam. Ayat ini mengingatkan kita bahwa emosi marah hanya akan menjatuhkan kita ke dalam dosa, ketika emosi itu sudah menguasai hati,  kita berdoalah kepada Tuhan biarkan dia yang menenangkan hati kita dan memberi hikmat untuk menyelesaikan persoalan dengan kasih bukan dengan amarah.

Selain itu, sering sekali kita berdoa, “kapan Tuhan ini berakhir?”, kapan ini Tuhan selesainya? dan seringkali Tuhan bilang begini sama kita: “diam di situ dulu karena aku sedang bekerja”. Dan kita tidak pernah tahu. Sampai akhirnya semua sudah selesai, di situ baru kita dibukakan, itu sebabnya Roma 8: 28 : hari ini saat ini baru aku tahu sekarang, aku tahu itu Allah turut bekerja dalam segala sesuatu untuk mendatangkan kebaikan, jadi jangan negative thinking samaTuhan, jangan berprasangka buruk pada rancangan Tuhan.

Diam menjadi sarana yang baik untuk menghindari dosa. Menahan diri untuk tidak mengumbar emosi negatif tentu akan membuahkan hasil yang lebih baik, dari pada sekadar mendapatkan kepuasan sesaat.
Mungkin dengan diam kita tampak lemah, salah dan kalah. Dengan diam kemarahan kita seakan tak tersalurkan. Namun memilih diam akan menjadi lebih bijak daripada membela diri dengan menjatuhkan orang lain. Bukankah Yesus pun memberi teladan demikian? Jika kita merasa harus berbicara, bicara saja pada Tuhan.

Diam ambil nafas lalu pikirkan respon terbaik, dan saat tidak tahu faktanya lebih baik diam daripada menyebarkan kebodohan. Bicara hanya jika kamu benar-benar paham. Saat orang lain sedang curhat kadang mereka butuh didengar bukan diceramahin, jadi dengarkan tanpa menyala, saat kata-kata tidak diperlukan tindakan lebih kuat dari kata-kata. Jika bisa menunjukkan dengan perbuatan tak perlu banyak bicara,  kebijaksanaan bukan cuma soal bicara, tapi juga tahu kapan harus diam.  Setuju kata-kata itu seperti pedang salah ucap bisa melukai ini. Kita harus tahu kapan harus diam dan kapan harus berbicara. Jangan terlalu sering berbicara, orangjadi menyepelekan apa yang kamu katakan


.

 

Quotes of the day :

DIAM BUKAN BERARTI TIDAK MELAKUKAN APA-APA.
DALAM DIAM KITA BISA SEMAKIN JELAS MENDENGAR SUARA BAPA.

 

 


Post a Comment

Previous Post Next Post